Follow Us @soratemplates

Rabu, 04 April 2018

Assalamualaikuum....
Kali ini,aku akan mengajak kalian untuk menyikapi bagaimana sih kondisi  penulisan sejarah di Indonesia saat ini, so, aku akan membagikan opiniku terkait topik tersebut...
Ini diaaa 😁😁😁😁😁

KRISISNYA HISTORIOGRAFI NASIONAL 
Menelaah tentang historiografi nasional , tidak lengkap rasanya tanpa melihat sisi-sisi lai
dibalik penulisannya. Bukan hanya tentang rangkaian cerita yang sudah tertulis dalam teks-teks
sejarah. Pun juga bukan tentang persoalan kasus-kasus mitologi yang mengaburkan pandangan
sejarah dalam masyarakat. Sisi lain yang akan terungkap dalam tulisan ini adalah tentang krisisnya
isi dalam historiografi nasional. Sebagaimana yang disebutkan dalam buku “Perspektif Baru
Penulisan Sejarah Indonesia”, dipaparkan bahwa menurut Nugroho, sejarah nasional memiliki 4 ciri:
 

Pertama,  sejarah nasional mengedepankan negara sebagai sentral, sehingga wakil-wakil negara
menjadi actor utamanya. Tentu hal ini menjadikan historiografi kesanya timpang. Bagaimana bisa
jika sejarah kenegaraan bisa berdiri sendiri tanpa didukung dengan peristiwa-peristiwa yang sifatnya
lokal atau kedaerahan? Darisini, sebagai akibat langsung dari pendekatan sentralistik tersebut adalah
tersisihnya sejarah daerah. Oleh karena, pun jika disebut sejarah lokal yang bersangkutan haruslah
sesuai dengan pendefinisian negara itu sendiri guna legitimasi kebaikan bangsa dan negara.
Tidak dapat dipungkiri bahwa nilai baik kenegaraan memanglah harus dijaga, namun bukankah
keorisinalan sejarah itu sendiri perlu dipatri agar tetap lestari? Padahal seharusnya, sejarah lokal
dengan paradigmanya masing-masing dapat menjadi jembatan pemahaman yang lebih baik untuk
masyarakat yang belum mengerti akan sejarah kritis. Dari sini, siapa yang nantinya bisa dislahkan
ketika dinamika sejarah lokal yang seperti kurang dianggap nantinya akan kehilangan eksistensinya.
 

Kedua, sebagai dampak langsung penerapan sentralistik diatas, bukan hanya sejarah lokal yang
kesannya cenderung diabaikan. Namun juga peran rakyat biasa yang seringkali terlupakan.
Bagaimana pola kehidupan yang kedaerahan cenderung disingkirkan ketika sejarah nasionalis
pun seharusnya butuh identitas yang realis. Padahal seharusnya untuk menuliskan sejarah bertema
sosial yang baik adalah bagiamana sejarawan mampu mengaitkan kehidupan sehari-hari dengan
kejadian yang lebih besar (Burke, 2001).


Ketiga, paradox ironis dari “sejarah yang tanpa kekerasan”. Seolah menjadi pertanyaan besar
bagi pembaca ketika dalam sejarah panjang kenegaraan yang secara historis memiliki sejarah
keradikalan yang bisa dikatakan cukun pesat, namun tidak pernah terjadi kekerasan antar bangsanya.
Menilik dari peristiwa sejarah yang mengguncangkan seperti G30/S PKI yang memicu amarah
public, kita hanya tau bagaimana dikisahkan dalam historiografi tentang  pembunuhan 6 jenderal
yang ada. Sayangnya, peristiwa yang terjadi pasca kejadian tersebut masih malu-malu diungkapkan.
Jarang yang tau bagiamana para PKI pasca kejadian itu dibantai, dihabisi, sampai mau dimusnahkan
di bumi Indonesia. Untuk menjaga nama baik bangsa, alasan itu lagikah yang menjadi kendalanya?
Padahal, oleh karena penghapusan peristiwa-peristiwa sejarh yang ada nantinya akan menurunkan
kredibilitas historiografi sejarah nasional itu sendiri. Sensor yang ada tak pelak menjadikan bisunya
fakta sejarah, nantinya mungkin perlahan akan melenyapkan fakta dari ingatan public.
 

Keempat, krisisnya sejaran nasional dilatarbelakangi oleh tidak adanya analisis yang menyeluruh
terhadap negara colonial sebagai seperangkat lembaga represif. Pandangan nasionalis antar dua
negara yang menghindari terungkapnya tindak kekerasan masing-masing, nantinya tanpa disadari
oleh mereka (baik pemerintah atau sejarawan negara), kebijakan tersebut berhutang besar pada
hilangnya fakta-fakta sejarah karena terus disembunyikan.


 Pada akhirnya, sejarah merupakan fakta yang seharusnya dapat dikuak secara orisinil,
tanpa mempersalahkan bagaimana paradigma-paradigma yang ada berbeda dalam
penginterpretasiannya satu sama lain. Sentris-sentris yang digunakan pun tak menjadi masalah
jika itu memang diperlukan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun, sebagai pengamat
agaknya saran yang terbaik bagi permasalahan sejarah nasional yang ada saat ini adalah sebaiknya
sejarah nasional tidak membatasi diri dalam mengungkapkan sejarah bangsanya. Bukankah baik 

atau buruknya sejarah nantinya bisa dijadikan sebagai pengajaran bagi bangsa di masa depan?
Sehingga jangan hanya dengan alasan membesar-besarkan kepentingan nasional, kemudian fakta-fakta
sejarah yang sepatutnya juga dituliskan malah sengaja dilupakan, diabaikan, hingga dihilangkan.
Karena kebangkitan sejarah nasional sudah lazimnya dilakukan untuk menghidupkan nilai yang ada
bersamanya, yang nantinya juga diperlukan untuk perbaikan kehidupan berbangsa dan bernegara
di masa depan. Terimakasih.
Daftar Rujukan:
Burke. 2001. Overture. The new history: Its past and future. Dalam peter burke (ed.),
New
    Perspectives On Historical Writing, 1-24. Cambridge: polity press.
Nugroho. “Ciri Sejarah Nasional”. Dalam Henk Schult Nordholt (eds.). 2013.
Perspektif Baru
Penulisan Sejarah Indonesia
. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia: KITLV-Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar